Pengamat dan Mahasiswa Dialog Tentang Komunikasi, Film Bid’ah di Indonesia, dan Komunikasi Gender

JAKARTA, matahari.tv – Komunikasi adalah proses pertukaran makna yang melibatkan simbol, tanda, dan budaya. Dalam konteks media, film menjadi salah satu medium komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan, termasuk isu-isu kontroversial seperti bid’ah (inovasi dalam agama) dan gender.
Di Indonesia, beberapa film mengangkat tema bid’ah dengan perspektif beragam, sementara komunikasi gender sering kali menjadi sorotan dalam representasi media.
Demikian inti pemikiran jurnalis senior, pengamat budaya,Ketua Departemen Seni Musik dan Film PWI Pusat, Vice Presiden Festival Film Indonesia dan Kepala Biro HU Suara Merdeka Biro Jakarta Benny Benke dalam Kuliah Terbuka Kelas Mata Kuliah Komunikasi Gender Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiah Prof Dr HAMKA di Gedung Kampus Fisip Uhamka Ruang 503,Rabu,(18/6).
Diskusi berjalan interaktif sebanyak 8 orang aktif bertanya sehingga jalannya dialog berlangsung dinamis.
Kedelapan mahasiswa yang aktif bertanya itu, Adna Fika Ardelia, Salsabila Adinda Fitri, Nur Rayhan Alhabsy, Novri Fajar Ramadhan, Silvi Andri Yani, Rena Kasmarani, Muhammad Raihan Hasya Pratama dan Hubbi Elhikam.
Dialog dosen tamu dan mahasiswa tersebut membahas komunikasi dengan dengan pendekatan semi-akademis ,- Komunikasi sebagai Media Penyampaian Pesan-,khususnya film.
Menurut Benny, komunikasi dalam film tidak hanya menghibur tetapi juga membentuk persepsi.
“Menurut DeVito (2016), film adalah bentuk komunikasi massa yang memengaruhi audiens melalui narasi, visual, dan simbol,” kata Benny yang juta sering menjadi juri festival film internasional tersebut.
Di Indonesia, film seperti “KKN di Desa Penari” (2022) atau “Pengabdi Setan” (2017) menyisipkan unsur-unsur bid’ah (misal: ritual lokal yang dianggap menyimpang) sebagai bagian dari cerita.
Contoh pertama, film menggunakan kode budaya (misal: adat vs. agama) untuk membangun konflik. Di mana pesan bid’ah sering dikomunikasikan secara implisit melalui karakter atau alur cerita.
Contoh kedua, Representasi Bid’ah dalam Film Indonesia. Bid’ah dalam Islam merujuk pada praktik keagamaan tanpa dasar syar’i. Namun, dalam film, bid’ah sering dikaitkan dengan:
– Ritual mistis (e.g., “Sewu Dino” 2023).
– Konflik agama vs. tradisi (e.g., “Tumbal Musyrik” 2023).
“Bila dipandang dari Semi-Akademis, film
mengkomodifikasi bid’ah sebagai drama atau horor, yang bisa menguatkan stereotip negatif,” tandasnya.
Lebih lanjut jata Benny, mengutip Stuart Hall (1997), representasi media sering mengikuti logika hegemonik misalnya, menggambarkan bid’ah sebagai “ancaman” tanpa konteks historis. Contoh Kasus: Film “The Santri” (2019) mengkritik praktik bid’ah di pesantren, tetapi juga menuai protes karena dianggap menyederhanakan isu kompleks.
Khusus Komunikasi Gender dalam Film Bid’ah,ia.menjelaskan Gender dan bid’ah sering tumpang tindih dalam narasi film Indonesia:
– Perempuan sering digambarkan sebagai “korban” bid’ah (e.g., perempuan dirasuki karena ritual).
– Laki-laki sebagai “penyelamat” (ustadz atau ahli ruqyah).
Analisis Gendernya ,lanjut dia , mengutip Teori Laura Mulvey (1975), Benny menyebutkan ,film patriarkal menempatkan perempuan sebagai objek pandangan (male gaze*l).
Disisi lain ,Film horor/religius Indonesia kerap mengulang stereotip: perempuan histeris, laki-laki rasional. Contoh
Dalam “Perempuan Bergaun Merah” (2022), tokoh perempuan yang melakukan ritual bid’ah berakhir tragis—menegaskan norma gender konservatif.
“Kesimpulan, pertama Film Indonesia memakai tema bid’ah dan gender sebagai alat komunikasi yang efektif namun sering simplistis.Kedua, representasi bid’ah cenderung sensasional, sementara komunikasi gender masih terjebak dalam dikotomi tradisional.Ketiga, perlu pendekatan kritis dalam mengonsumsi film untuk memilah antara hiburan dan pesan ideologis,”paparnya.